Didalam film ini menggambarkan suasana Aceh pasca bencana tsunami. Opening
dimulai dengan sesorang seniman, Tgk. Reza Indria yang membacakan sebuah puisi
ditengah puing – puing yang berserakan karena terjangan gelombang tsunami yang
maha dasyat. Hampir semua bangunan disekitar kawasan Pantai Ulee Lheu sudah
rata dengan tanah, hanya menyisakan masjid yang berdiri kokoh meskipun kondisinya
begitu memprihatinkan namun masih digunakan masyarakat untuk beribadah.
Pohon tumbang, ranting dan sampah, serta kendaraan yang sudah tidak
berfungsi lagi berserakan dikawasan Peukan Bada. Air begitu sulit dicari
disini. Hanya ada beberapa sumber mata air untuk menghidupi kebutuhan korban tsunami. Dari sudut pandang di angkasa, memperlihatkan betapa dasyat nya
gelombang tsunami waktu itu, hingga meluluh lantahkan bumi Aceh.
Kondisi Aceh perlahan mulai membaik. Di kawasan Simpang Surabaya, kehidupan
perekonomi mulai berjalan seperti biasanya. Salah satu warung yang menjajakan kopi
khas dari Aceh telah membuka lapaknya kembali. Tak sedikit pembeli yang
mendatangi tempat ini untuk bersanatai atau menghilangkan trauma.
Disebuah pondok pesantren atau lebih tepatnya pungisian buat anak anak. di
kawasan Kuta Baru, terlihat mereka sedang asik bermain dan sebagian mandi disebuah
pemandian umum yang hanya ditutupi dengan kain terpal. Mandi beramai ramai
dengan air yang sangat sedikit.
Salah seorang anak bercerita tentang keadaan ketika stunami menerjang Aceh.
Suara sirine trus terdengar dimana - mana. Kendaran bergerak satu arah dan semua
orang panik berlarian menuju tempat yang dirasa cukup aman. Tak lama berselang
air mulai datang dengan begitu derasnya. Dari atap rumah, warga dapat
menyaksikan sendiri betapa dasyatnya arus hingga menyeret kendaraan, pohon, rumah,
bahkan manusia.
Setelah tsunami mulai berhenti, warga mulai turun kejalanan yang masih
tergenang air untuk menyelamatakan barang – barang dan mencari sanak saudara
mereka. Mereka berjalan menuju masjid sebagai tempat penginapan.
Ketika adzan Magrib mulai berkumnadang, anak anak pesantren itu mulai
berduyun duyun mengambil air wudhu yang ditampung dalam kolam yang cukup besar
dan kemudian mereka melanjutkan sholat berjamaah dengan kondisi masjid cukup
memprihatinkan karena semua tidak dapat masuk kedalamnya dan sebagian menggelar
tikar diluar. Setelah sholat degan serentak semua thalilan dan zikir dengan
penuh semanagat,
Dikasawan Lho Nga, sejumlah relawan berdtang dengan membawa slogan "Bangkit
Aceh". Kedatangan mereka disambut kesenian dengan alat musik khas aceh. Warga
berduyun duyun berkerumun menjadi satu ditempat itu, untuk mencari hiburan dan
di akhiri dengan berdoa bersama serta sholawatan.
Tenda – tenda mulai didirikan untuk
tempat pengusian korban meskipun sederhana namun mereka tetap harus menjalani
ini semua. Mandi, menyuci dan semuanya dilakukan disungai karena air bersih
cukup sulit untuk ditemukan. Bagi mereka ini adalah salah satu ujian dari Yang
Maha Kuasa dalam perjalan hidup yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar