Wajahnya
terpampang hampir disegala sudut kota. Dengan no 1 dan warna ungu disetiap
poster, tidak lah sulit orang untuk mengenalnya. Inilah sosok calon wakil
rakyat yang memiliki sepuluh istri. Namun itu semua tidak berhenti sampai
disini. Siang yang panas, perlahan namun pasti, Pak Ahmad dengan pakaian yang
lusu meskipun dia menganggap itu adalah pakain terbaiknnya, datang ke rumah
calon wali kota itu. Terlihat salah seorang wanita menyambutnya dan mengantarkannya
diruang kerja Pak Arman. Ya, wanita itu tidak lain salah satu istri Pak Arman.
Disepanjang langkahnya terlihat istri – istri Pak Arman sibuk dengan segala
urusan masing – masing. Menyuci, menyapu, memasak adalah bagian dari tugas
mereka.
Begitu sampai
diruangannya. Terlihat dua wanita sedang sibuk memijat badan dari Pak Arman.
Kedatangannya disambut senyum oleh Pak Arman, dengan segera Pak Ahmad mengabil
sesuatu dibalik saku nya. Sebuah foto wanita yang cantik jelita terlukis difoto
itu. Dia sodorkan dihadapan Pak Arman. Senyum mesum dari Pak Arman memberkian
lampu hijau pada pak Ahamad.
“Namanya
Andin, masih 18 tahun” jelas Pak Ahmad
“Anak saya”
tambah Pak Ahmad.
***
Dimalam yang
gelap, disebuah ruang yang multifungsi -sebagai ruang makan, ruang keluarga,
dan ruang tamu- Mbok Minah sedang memasang lampu teplok yang dipasang di pojok
ruangan sebagai penerangan. Andin anak
semata wayang nya sibuk menyiapkan menu makan malam di dapur. Tak lama
berselang Bapaknya yang tak lain Pak Ahmad datang dan duduk di ruangan itu.
“Besok Pak
Arman mau datang kerumah kita jam 11” ujar nya.
“Pak Arman?
Calon wali kota yang punya 10 istri itu?” tanya istrinya penasaran
“Iya, tolong dandani
Andin secantik mungkin” pinta Pak Ahmad
“Kenapa, harus
cantik?”
“Bapak mau
menjodohkan Andin dengan beliau”
“Apa? Pak,
anak kita masih sekolah, masa depan menunggunya setelah lulus, jangan bunuh
impiannya”
“Masa depan?
Kita itu dari keluarga miskin, sangat miskin dengan anak yang bisu. Impin itu
hanya dimiliki mereka yang diatas. Ingat itu Bu!”
Mendengar kata
– kata itu, langkah Andin yang membawa menu makan malam hanya tiga buah tempe
goreng terhenti. Jatuhlah menu makan malam itu kelantai dan berlari menahan
tangis ke kamarnya.
Melihat itu,
bapaknya pergi meninggalkan ruangan sementara ibunya menghampiri Andin di
kamarnya. Didalam kamar Andin tak kuasa menahan tetesan air mata. Ibu nya duduk
dan memeluk hangat anaknya tetes demi tetes air mata jatuh kelantai.
***
Siang harinya,
jam dinding hampir menunjukan pukul 11, Mbok Minah melihat suaminya menuju
rumah bersama rombongan Pak Arman dari balik jendela. Dia memanggil Andin dan
memintanya untuk bersembunyi di dalam rumah.
“Nak, sembunyi
lah di balik ranjang, semua akan baik – baik saja” pinta ibunya dengan senyum
khawatir. Sebelum sembunyi keduanya saling berpelukan.
Tak lama
berselang, suaminya dan Pak Arman berserta anak buahnya datang kerumah. Sementara
ibunya sibuk dengan urusannya memasang paku di dinding tanpa mempedulikan
kedatangan mereka.
“Sialahkan
duduk Pak, maaf agak berantakan, mau minum apa?”tanya Pak Ahmad
“Diamana anak
mu?” tanya balik Pak Arman
“Oh iya
sebentar saya panggilkan” dengan segera pak Ahmad masuk kedalam dan mencari Andin
dikamarnya namun tidak ditemukannya. Kemudian dia bertanya pada istrinya.
“Bu, Andin
dimana?” tanya Pak Ahmad. Namun tidak ada jawaban dari ibu nya yang masih sibuk
memasang paku. Pak Arman nampak tak sabar untuk menunggu dan hendak beranjak
pulang.
Dengan suara
yang tegas, “Bu, dimana Andin? Tak ada jawaban dari istrinya, hingga akhirnya,
habislah kesabaran Pak Ahmad. Di benturkannya kepala istrinya itu ke dinding tiga
kali hingga berdarah. Belum sampai disitu. Palu yang dipakai Mbok Minah diambil
Pak Ahmad dan dihantamkannya ke kepala istrinya hingga terjatuh dan berlumuran
darah.
Kemudian Pak Ahmad
mencari kedalam rumah. “Andin..Andin...Andin..” tak ada jawaban. Begitu masuk
di kamar istrinya, terdengar suara besi yang disenggol Andin hingga menibulkan
bunyi yang langsung ditangkap oleh telinga bapaknya. Namun begitu dilihat
lorong ranjang itu tak ada apa – apa hanya seekor tikus yang mencari makan.
Namun,
terlihat oleh Pak Ahmad lemari yang bergoyang. Andin yang didalam nya hanya
bisa pasrah ketika bapaknya mendekati lemari itu. Dan membuka lemarinya.
***
Tumbuh Andin
diseret bapaknya untuk menghadap Pak Arman. Namun sepintas dia melihat ibu nya
yang tergeletak dilantai dengan berlumuran darah. Dengan reflek dia mengambil
pistol yang terselip dicelana salah seorang anak buah Pak Ahmad dan menghampiri
ibunya sambil mengarahkan pistol itu ke arah mereka. Andin mencoba meraba detak
nadi nya, dan begitu ibunya sudah meninggal air matanya tak bisa ditahan.
Bapaknya
mencoba mendekatinya namun dengan sigap dan penuh amarah, Andin mengarahkan
pistol itu kearah bapaknya dan seketika langkanya terhenti. Andin menuliskan sesuatu ditembok
dengan darah ibunya.
“Kekuasaan tak
akan mampu mengambil harga diri ku”
Pistol yang
diarahkan ke bapaknya, beralih dikepalanya. Dan dengan tutup mata dan tetesan
air mata yang masih mengalir serta hembusan napas terakhir. “Doooorrr....”
0 komentar:
Posting Komentar