Malam belum berakhir, dewi malam
masih tersipu malu dibalik aman hitam dan kelam. Rentetan air turun dari langit
untuk membasahi seluruh permukaan bumi. Nyanyian burung hantu dan teriakan
jangkrik tak lagi terdengar karena dinginnya udara yang begitu dalam menusuk
tulang kering. Di sudut kamar yang kecil disebuah gubuk tua ini aku berbaring.
Disegala penjuru kamar, hanya terpampang lukisan yang aku buat akan sebuah
memori yang terekam dalam kehidupan ku. Kini warna lukisan itu tampak sedikit
pudar karena sentuhan air hujan. Namun, dengan lukisan lah aku dapat terbang ke
Makasar untuk membawa pulang juara II nasional dan piagam atas nama: Alshiana Desya
Putri.
Kumandang
adzan shubuh membangunkanku dari mimpi – mimpi. Dengan mata yang sedikit
terpejam ku lihat kakak ku sibuk membersihkan lantai yang seperti kolam karena air hujan yang menembus
celah atap yang hanya tebuat dari daun tebu. Walaupun demikian gubuk inilah
tempat aku dan kakak perempuan ku untuk menjalani hari – hari sebuah kehidupan.
Ibu ku sudah tiga tahun ini meninggalkan aku dan kakak ku, kembali kepada Sang
Pencipta ketika masih duduk dibangku kelas lima. Sementara bapak ku hanyalah
seorang pecundang amatir yang meniggalkan kenyataan yang ada karena wanita.
Dan
kakak lah yang kini menadi tulang punggung keluarga. Dia terpaksa mengakhiri
pencarian ilmunya kala masih duduk dibangku XI. Itu semua dilakukannya demi
aku. Setiap kali memandang ku matanya tampak berbinar penuh harapan untuk masa
depan ku. Walaupun hanya sebagai pengamen jalanan setidaknya cukup membuatku
hidup dan tetap bersekolaah mengejar impian: ahli gizi.
“Al, segeralah berangkat, jarum pendek sudah
menunjuk angka enam.”
“Iya Kak.” Jawabku pendek dan segera melesat
menuju sekolah namun tak lupa ku cium tangan kakak ku.
***
Siang
menjelang. Terik sinar mentari tak sanggup ku terima ditengah ku pelajari akan
sebuah ilmu kehidupan: Biologi. Aku selalu membayangkan betapa beratnya
perjuangan kakak ku yang terus menelusuri jalanan dengan aspal yang panas
sekedar mencari sesuap uang receh untuk nasi.
Tiba
– tiba pintu kelas digedor petugas TU. “ Permisi Pak, mau panggil Alshiana.”
Aku pun melangkah pergi mengikuti jejak kai petugas TU itu yang tampak
menggiringku ke ruang TU.
“Alshiana! Sudah dua semester ini kamu belum
membayar BP3. Kapan akan melunasinya?” Tanya petugas TU itu dengan tegas.
Aku pun tak bisa untuk menjawab pertanyaan
macam itu.
“Besok saya ingin bertemu wali mu. Dan jika
kamu dapat melunasinya maka lebih baik kamu diam di rumah saja”
Jantungku
berdebar tak karuan. Membawa kakak ke sekolah sama saja menambah beban kakak
ku. Tapi itu satu – satunya jalan untuk menyelamatan pendidikan ku.
***
Malam
hari yang sunyi ini, ku sampaikan pesan dari petugas TU.
“Kak, besok pagi kakak diminta datang ke
sekolah.”
Apa yang telah kamu lakukan di sekolahan?”
Tanya kakak sedikit marah dan curiga.
“Ini bukan karena itu Kak, tapi masalah BP3.”
Sekejap kakak ku terdiam seribu bahasa.
Hanyalah sedikit kata yang terucap.
“Baiklah kakak usahakan, Al”
Keesokan
harinya kakak ku berangkat ke sekolah dengan membawa seribu alasan untuk
menyelamatkan cita – cita ku. Aku pun hanya dapat melepas kepergiannya dengan
ucapan, “Kak, aku masih pengen sekolah.”
Sementara
aku masih tetap berdiam sendiri di dalam istana yang mau roboh ini untuk
menunggu kehadiran kakak. Sebelum siang menjelang kakak telah kembali dengan
tubuh yang tak lagi tegak. Dia berkata, “Al, besok kamu dapat bersekolah lagi.”
Sontak
kabar itu ku sambut dengan gembira, “sungguh Kak? Apakah uang BP3 nya sudah
linas?” Tanya ku. Ku lihat wajah kakak pucat mendengar pertanyaan ku. “kamu
belajarlah yang rajin” ujar nya dan masuk ke kamar.
Mulai
saat itulah aku terus berjuang tuk belajar dengan rajin. Namun, mulai saat itu
pula kakak ku juga terus berjuang tanpa henti mengumpulkan uang demi aku apa
pun akan dilakukan asalkan halal.
***
Sepulangnya
aku dari sekolah tampak rumah begitu sepi, yang biasanya kakak pulang dari
ngamen untuk sekedar minum. Aku pun bermaksud mencari kakak untuk membawakannya
sebotol air putih. Dibawah terik mentari aku yakin kakak membutuhkannya.
Sesampainya
aku di ¼ an dimana kakak ku berdiri tak ku jumpai. Aku coba berjalan ditenggah
hamparan bara aspal yang membakar telapak kaki ini. sepanjang perjalanan tak ku
jumpa akan kehadiran kakak ku. Tampak dari jauh orang – orang berkumpul menjadi
satu dari segala penjuru. Aku pun mendekat.
“Astqfirullah, pengemudi tak tak berakal
membuatnya seperti ini.” ujar salah seorang yang berkumpul di tempat itu.
“innalillahi wa innaillaihi roji’un. Sudah
terlambat untuk dibawa ke rumah sakit.”
Semakin
penasaran aku pun menyelinap di balik kerumunan itu. Seakan tidak percaya aku
akan sebuah catatan Tuhan. Jantungku seakan berhenti dalam hitungan detik.
Mataku tak dapat berpaling dari sebuah kenyataan yang ada. Tetesan air mata tak
lagi dapat ku bending. Bibir ku hanya bisa terucap satu kata. “Kakak??”
Inilah
hidup semua berjalan dan tidak tahu mati. Tuhan tidak akan memperlihatkan akan
catatanNya. Semua terjadi kapan pun dan dimana pun dalam kondisi apa pun.
***
Hari demi
hari ku jalani sendiri tanpa arah yang pasti. Aku berhenti sekolah. Menghambur
impianku selama ini. doctor ahli gizi hanya sekedar wacanan bagi ku. Apakah hidup
seperti ini,? Mengapa aku selalu sendiri? Apakah hidupku tak berarti?. Tanpa ku
sadari akan sebuah makna takdir ini.
Hidup
ini penuh akan pertanyaan dari dalam hati dan pikiran, aku tidak akan heran
jika Edison, Newton, Pascal ataupun Phytagoras dapat menhitung secepat kilat,
hitungan total jumlah detik – detik selama aku lahir hingga saaat ini berturut
– turut tanpa ada yang bisa menahan. Tapi, adakah yang bisa menhitung bagaimana
aku harus berlari dari kesakitan setelah ini? Bagaiman aku harus menjaga agar
pada pelipisku tek terbentuk aliran sungai yang bersumber dari pelupuk mataku.
Bagaiman aku harus menahan nafas dan mengerutkan dahi, saat hati ku mulai
tergerogoti oleh sesuatu yang abstrak?
Jujur
aku iri pada lebah madu penghisab nectar atau pun pada keresak ialalng kering.
Mereka bisa hidup meski berhari – hari mereka mengadang maut? Bagaiman dengan
ku? Kecil, rapuh, mengkeret dan terjatuh.
Hanya
dengan kuas dan cat ku tuangkan kedalam kanvas untuk sebuah ungkapan perasaan.
***
Aku
berfikir semua cerita telah berakhir. Dan tak ada gunanya lagi menyimpan
lukisan yang tak berguna. Ku kumpulkan semua lukisan itu menjadi satu dan
sebatang korek api siap melenyapkan kenangan indah dan kelam.
“Aku tahu ini sangat berat untuk mu. Tapi apa
kamu tahu ada hal yang jauh lebih berat dari pada ini?” kehadiran Josephana,
teman satu kelas membuatku terhenyak.
“Cukup sudah aku mengalami penderitaan ini
dan kini aku sudah tak punya apa – apa lagi.”
“Setiap orang pasti akan berfikir seperti itu,
namun bukan kah kamu masih mempunyai lukisan itu. Lukisan yang nantinya akan
membawamu ke sebuah impian.”
“Apa maksudmu?”
“Kenapa tidak kamu lelang lukisan – lukisan
itu untuk hidup mu dari pada terbakar kamu hanya akan mendapatkan sejumput
abu.”
Aku terdiam.
Pikiranku terikat tak bisa berbuat apa – apa kini perlahan ikatan itu terlepas.
Jalan pikiranku yang gelap perlahan terbuka karena sinar Mu. Alshiana yang
sekarang tidaklah lemah. Aku harus kuat menghadapi hidup ni walau hanya
sebatang kara.
“Kalau itu menurutmu, baiklah untuk ku akan
aku coba”
Kehadiran
Josephana sebagai teman dalam hidup baik didalam maupun diluar sekolah
membuatku seakan hidup kembali. Dengan tangan ini aku dapat melangkah menuju
sekolah. Dengan lukisan ini aku dapat terbang melayang bersama bintang –
bintang untuk menggapai impian yang sempat aku kubur dalam – dalam: Ahli Gizi.
0 komentar:
Posting Komentar