Ini hanyalah sepenggal sebuah kisah tentang ku tentang mu
dan dirinya yang tak kan terbayangkan oleh ku dalam perjalanan ini. Aku hanya
mampu berdiri, tertawa, merenung, terdiam, menangis dan mati akan sebuah makna kehidupan. Tak
terbayangkan oleh pikiranku kemana tubuhku kan pergi. Hanya alunan langkah
kaki, ku ikuti. Mungkin aku tak tahu awalnya bagaimana, tapi aku dapat
merasakannya.
Ku berjalan dan tak kan kembali. Sepanjang jejak kaki yang
terlewatkan hanya suara keras dan tak bernada dengan ketukan 4/4 terasa perih
ditelinga,bahkan suara itu lebih buruk dari vuvuzela
dan ku yakin saat itu suara berasal dari segala arah dan depan mata, mungkin
itu “Riski
Saktianingsih“ dan juga “Siti Nur Hidayati“. Aku tak
peduli dengan suara itu, bagiku itu hanya akan melenyapkan kesunyian dalam
kehampaan.
Detik demi detik kan terlewati, perut mungkin kan
memberontak bila tetap ku biarkan seperti saat ini. Tapi aku tak kan tahu harus
kemana jejak langkah ku berhenti tuk setidaknya mencium dan menikmati akan rasa
yang tertuang dalam ujung lidah. Terasa membosankan ketika ku harus berhenti
dimana pun itu harus salalu berjumpa “Reni Kartika Sari“ dan “Restu
Restawang“.
Aku hanya bisa terdiam duduk tanpa kata dan berada diantara,
“Dwi
Mulyanti“,“Lutfiana Ulfah“, dan “Siti
Nurul Latifah“. Seakan tak mampu bibir ini tuk ucapkan kata yang
tak penting tuk terucap. Hanya pikiran yang berjalan bukan gerakan lidah dan
matinya pita suara yang terasa. Dunia mungkin kan terdiam tuk beberapa detik
akan kehadiran mereka.
Aku harus melanjutkan perjalan ini sebelum pelangi tak lagi
memberi warna pada dunia ini. Di balik gedung yang besar dan menakutkan seseorang
sedang sibuk mengitung, tapi kenapa selalu saja besar pasak dari pada tiang.
Didalam hati mungkin dia marah kepada mereka hanya meminta dan tak kembali.
Semakin jelas bayangan tu ketika saldo sudah habis. Dan “Winda Febriani“
hanya kan menjadi patung bersama “Wahyu Sri Sushanti“ (yang
kebesarannya hanya ditampakkan dibelakang bukan di depan) jika tetap bersama
dalam dunia kehidupan biologi.
Semakin jauh melakang semakin sepi akan rasa persaingan
dalam hal nila tuk diperoleh. Semakin kecil dan tertinggal. Hanya “Imelda
Margareta Aritonang“,“Erna Setianingrum“ , dan “Rosy
Meyliani“, yang dapat berjalan bersama tuk over lap mereka yang
tertinggal dibelakang. Meski “Mukti Adi Nugraha“ dengan
sedikti dana yang tak mampu tuk dia korbankan, coba mendekati tapi mereka
seakan tak kan peduli akan kehadiranya karena sudah merasa dekat akan tangga
juara.
Cukup sudah lelah ku berjalan, sebelum harus ku jumpai
seseorang aneh dan mungkin kan mengelikan atau kan mengkaburkan anak – anak
kecil, “Yuni Nurma Arumika“.
Entah kenapa juga setiap hari harus senam jari dan tak bosan juga.
Hah terlewati sudah jalan yang menyeramkan.
Tapi dibalik tu ada
sesosok yang sulit ditebak, tangguh tapi bisa saja bocor, sudah kupikir itu
hanyalah “Susi Widiastuti“, berpikir cepat tapi kan sekejap
terlupa, bahakan termasuk nama temannya. Aku rasa di juga lupa kan namanya
sendiri. Dan salah satu yang kan menjadi sosok lain dari Imelada.
Kini aku bisa tertawa dalam kehidupan bersama “Nanang
Setiawan“. Yang terasa gokil tuk dipandang tapi juga hanya berburu
jurukunci dalam sebuah pes community. Tapi diantara kehidupannya itu
bersembunyi talenta yang cukup buat persaingan dalam dunia hiburan. Dan itu
membuat dunia tertawa.
Dua pria berjalan mendekatiku tapi ku hanya terdiam. Mungkin
kedua nya tak berarti buatku, karena hanya biasa saja penampilanya. Tapi itu
hanyalah bagian luarnya saja. Kini ku mampu merasakan talenta pemikiran yang
dimiliki, “Rahmad Hernawan“ seorang yang memiliki jiwa pahlawan
tapi dia tak tahu itu apa tugas pahlawan dan “Wachid Nur Hadi“
berusaha keras tuk belajar tapi sulit karena tulisannya terlalu kecil
diselembar kertas kecil.
Pagi telah menjemput matahari belum tersenyum, namun “Umrotul
Hafidhoh Hadi Ningrum“ telah
berdiri sendiri. Entahlah kenapa harus selalu ku lihat “Tri Merina“ selalu
mencoba berlari tuk mendapinginya tuk berdiri, dikala matahari telah tertawa.
Ketika ku hendak menyeberangi jalan, terpampang sosok yang
tak jelas dengan mengotak atik laptop di pinggir jalan. Seakan dia mampu
berbuat apa saja dalam dunia maya, tapi dia hanyalah sesosok yang bodoh dan tak
tahu apa yang orang dapat ketahui. Dan aku pikir dia tak mampu berbuat apa apa
tanpa ada orang lain di sekitarnya, hah dasar “Wiwid Septiyardi“,
yang tak tahu malu.
Sejauh ini aku mencoba memahami akan makna ku melangkah, dan
kehadiran “Witri Uliarti“ coba berharap .Dan tlah pergi. Tak bisa
pertanyaan dan jawaban selalu meleset. Dompet kering sangat menyiksanya dalam
kehidupan Jogja ini.
Dari jauh terlihat keramaian. Dan tak tahu itu apa. Mencoba
mendekat terasa aneh ketika setiap orang harus membawa selembar kertas dan
pensil. Dengan pertanyaan yang aneh tanpa ada KKM yang pasti dia mencoba menebak
jalur hidup sesorang, tapi aku gak yakin dia mampu menebak dirinya sendiri.
Karena “Tesa Septiwulandari“ hanya akan menjadi peramal.
Kini semua tampak akan berwarna. Lukisan seraya gambaran
diawan membuat hidup tak lagi menderita. Setiap orang ingin dimanjakan dengan
lukisan “Rujiatun“. Tapi itu terlalu
membosankan karena hanya kupu – kupu yang terbang dan tak kan pergi dari itu.
Setidaknya itu telah mengubah dunia mereka.
Siang menjelang, namun perjalananku tak usai juga. Entah kenapa
dalam siang ini, masih ada orang yang berlari menelusuri jalanan. Ea, “ Uswatun
Maidike“, aku nggak tahu pa keinginannya, tapi perjuang keras tuk
menjadi atlet mungkin tlah dia tanaman dan berusaha mewujudkannya. Tapi,
dibelakangnya terpintas seseorang yang ikut berlari, mungkin itu “Rohayati“,
apa tujuannya tak jelas, tapi dia bangga atas pencapaiannya tapi tidak orang –
orang dibelakangnya. Caci, hinaan,sindiran dan kesan arogan membuatnya jauh
percaya diri. Aneh.
Entah kenapa dalam palingku, aku tidak tahu siapa mereka
yang terkesan biasa, semacam, “Nining Dwi Jayanti“,dia
mencoba berusaha tuk bersaing tapi belum juga tercapai usahanya itu dan “Reni
Dwi Riyani“, dia dapat berubah sewaktu –
waktu dan kalian tidak akan mengetahui keahliannya dalam memecahkan teori.
Kumandang adzan tlah terdengar, tapi kenapa “Hestin“
menantinya mungkin dia ingin mendengarkan salah satu cerita lucu dari Bapak Thohir,
atau ingin menyaksikan pertunjukannya disela nyanyian yang berkumandang. Karena
keyakinannya itu dia mampu itu.
Dipertemuan jalan ku menatap fantastic four melaju. Tapi
satu yang membedakanya hanyalah satu orang, “Wahyu Indarti“.
Mungkin dia kan jauh lebih baik jika tidak bergabung. Ku rasa dia ingin mencoba
tantangan baru agar mampu merasakan sebuah dengan kemarahan orang tanpa tnda
jasa disekitarnya.
Dan apa arti dalam perjalanan ku telah ku temukan. Semua
senyum dari dari orang sekitar membuat aku bangga. Namun sayang mereka tidak
mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi dalam kehidupan ku. Hancur. Setiap
orang ingin jauh laebih baik dengan meninggalkan orang yang lain. Persaingan
tidaklah sehat, tanpa ada rasa fair play. Tapi itu semua adalah bagian dari
hidupku untuk sepintas.
Perjalanan ku selama satu tahun
ini membuatku aku bisa tertawa ngakak, sedih, murung, bahagia, mengangis,
kecewa, terharu, lucu, dan segalanya yang pada ujungnya membuatku terdiam. Aku
masih ingat ketika aku bertemu satu persatu orang yang ku jumpai. Sungguh
menjadikan arti tersendiri bagi ku. Aku merasa kalian adalah bayangan
perjalanan ini. Dan waktu itu semua menggunakan kaos bertuliskan “The Monster of Sains“.
Tapi, kini satu persatu dari
mereka melepaskan kaos tersebut, untuk kehidupan baru, untuk dunia yang baru,
untuk kenangan yang tertinggalkan.
Thankz to all,
Teman – teman tak ada kalian tak ada aku dan tak ada aku tak
kan ada kalian, trimakasih telah sejenak berhenti tu menikmati suasana tak
terlupakan bersam ku disini XI IPA 3.
0 komentar:
Posting Komentar